Presiden Prabowo Perlu Menuntut Ganti Rugi Utang Warisan Belanda: Sri Mulyani Harus Menghitung dengan Bunga Sejak 1949, Senilai USD 1,13 Miliar

IRONISNYA, salah satu syarat pengakuan kedaulatan itu adalah Indonesia harus menanggung “utang perang” Belanda sebesar USD 1,13 miliar
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (HASRAT)
Kemarin, tepat pada 17 Agustus 2025, saya menulis artikel berjudul “Merdeka dengan Utang: Negara Harus Tuntut Ganti Rugi atas Utang ke Belanda Beserta Bunga Sejak 1949, Senilai USD 1,13 Miliar (4,3 Miliar Gulden).” Untuk mempertegas gagasan tersebut, kali ini saya kembali menulis artikel dengan judul sebagaimana tercantum di atas.
Saya berpendapat bahwa Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, perlu menuntut ganti rugi atas utang yang dipaksakan Belanda sejak 1949, senilai USD 1,13 miliar atau 4,3 miliar gulden, berikut bunganya. Presiden dapat memerintahkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, untuk menghitung secara rinci kerugian tersebut agar dapat ditagihkan secara resmi kepada Pemerintah Belanda.
Langkah tersebut adalah sah, legal, dan jauh lebih elegan daripada sekadar memberlakukan aturan pajak baru yang justru membebani rakyat.
Belanda memang culas. Mereka pertama kali datang ke Nusantara pada 1595–1596 dengan dalih perdagangan, padahal kala itu Indonesia sebagai negara belum berdiri dan masih berupa kerajaan-kerajaan.
Empat tahun kemudian, mereka bermetamorfosis menjadi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berkuasa selama sekitar 197 tahun, dari 1602 hingga bubar pada 1799. Sejak saat itu, pada 1800, Belanda membentuk pemerintahan kolonial Hindia Belanda—itulah awal penjajahan yang sesungguhnya. Di tanah orang lain, Belanda mendirikan pemerintahan kolonial. Licik sekali!
Saat Perang Dunia I (1914–1918), Belanda bersikap netral. Namun pada 1940, Jerman Nazi menyerbu Belanda. Pemerintah dan keluarga kerajaan melarikan diri ke Inggris, sementara negeri mereka jatuh ke tangan Jerman. Mestinya saat itu kekuasaan Belanda di Nusantara juga berakhir. Tetapi dengan kelicikan, mereka tetap bercokol di Hindia Belanda meski negaranya sendiri sudah dijajah Nazi.
Pada Perang Dunia II (1939–1945), Belanda masuk dalam blok Sekutu. Jepang, lawan Sekutu, kemudian menyerbu Indonesia pada 1942. Belanda kalah cepat dan menyerah tanpa syarat di Kalijati pada 8 Maret 1942. Sejak saat itu, Belanda kehilangan kuasa di Nusantara. Jepang kemudian menduduki Indonesia untuk memperluas wilayah dan menguasai sumber daya alam, terutama minyak bumi.
Setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945), Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Momentum inilah yang dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sehari setelah Peristiwa Rengasdengklok. Pada 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi pertama Republik.
Namun, Belanda kembali berulah. Mereka menolak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan melancarkan agresi militer. Baru setelah tekanan internasional, dan dengan berbagai perlawanan sengit bangsa Indonesia, Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Ironisnya, salah satu syarat pengakuan kedaulatan itu adalah Indonesia harus menanggung “utang perang” Belanda sebesar USD 1,13 miliar (4,3 miliar gulden). Licik sekali!
Pengakuan ini berlarut-larut. Pada 2005, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia secara de facto sudah dimulai 1945, namun Belanda tetap berpegang pada 27 Desember 1949. Baru pada Juni 2023, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, akhirnya menyatakan secara resmi bahwa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat pada 17 Agustus 1945.
Dengan pengakuan ini, semestinya Indonesia terbebas dari utang yang dipaksakan Belanda melalui KMB. Bahkan, Belanda justru seharusnya membayar ganti rugi berikut bunga sejak 1949 hingga 2025.
Dengan perkiraan kurs Rp15.000 per dolar, jumlah pokoknya setara dengan Rp16 triliun. Jika dihitung dengan bunga selama 76 tahun, nilainya mungkin bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Dana inilah yang sepatutnya ditagih Indonesia kepada Belanda untuk membantu meringankan beban utang nasional yang kini mencapai sekitar Rp7.000 triliun pada 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu menghitung secara rinci kerugian ini beserta bunganya, dan hal tersebut sepatutnya terus digaungkan dalam setiap perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Jumlah total ganti rugi utang perang berikut bunganya perlu diungkap secara terbuka kepada publik.
Rakyat pun harus ikut bersuara, menuntut ganti rugi perang dari Negeri Kincir Angin yang telah menjajah dan masih meninggalkan beban utang. Langkah ini bisa menjadi cara yang jauh lebih efektif untuk mengurangi utang negara daripada sekadar mengandalkan peningkatan pendapatan melalui aturan pajak baru yang justru membebani rakyat.